Mengapa Anak-Anak Mudah Lupa tentang Materi Pembelajaran?
Mengapa Anak-Anak Mudah Lupa tentang Materi Pembelajaran?
Mengapa Anak-Anak Mudah Lupa tentang Materi Pembelajaran? Pertanyaan pada judul tersebut secara logis dapat dijawab karena mereka tidak tahu apa yang penting bagi mereka saat ini dan kelak. Mereka tidak tahu apa yang perlu mereka ingat, apa yang perlu mereka ingat-ingat dengan baik, apa yang perlu mereka ingat secara mendalam dan lakukan, jangan pernah dilupakan, dan apa yang perlu mereka lupakan. Ketika mereka tidak ingat sesuatu hal, berarti hal itu tidak mereka butuhkan. Dari mana sumber ketidaktahuan tersebut berasal, tentu berasal dari sistem, kurikulum, dan dari metodologi pembelajaran.
Menurut Emha Ainun Nadjib, kurikulum sekarang itu
ibarat truk. Ia hanya memikirkan muatan dan jumlahnya. Tidak pada bagaimana
mesin pada truk itu bekerja, bagaimana orang-orang memperlakukan truknya,
bagaimana menjadi pengemudi yang baik, bagaimana menjadi pengguna jalan yang
disiplin, dan sebagainya. Intinya terletak pada pengalaman empiris tentang
bagaimana manusia menjalani kehidupan dan bagaimana mereka mendapatkan manfaat
dari yang mereka ingat, ingat-ingat, dan ingat-ingat secara mendalam sebagai
bekal menjalani kehidupan panjangnya.
Sekolah dan institusi pendidikan sebenarnya
adalah lembaga pendidikan skunder. Lembaga pendidikan yang primer adalah
manusia. Manusia adalah sentra pendidikan mikroskopik. Semua ilmu dan
pengetahuan ada pada diri manusia sehingga tujuan kurikulum pada akhirnya
mengenal diri, lingkungan, dan bahkan mengenal Tuhan serta menjadi manusia yang
dimaui Pencipta.
Konsep ‘belajar dari’, bukan mempelajari. ‘Belajar
dari’ diri sendiri melalui orang yang tahu tentang manusia. ‘Belajar dari’
hubungan manusia dengan alam, ‘belajar
dari’ hubungan manusia dengan manusia dan Tuhan. Maka yang perlu diingat sebagai
makhluk Tuhan adalah ia merasa sebagai manusia. Apa dan siapa manusia itu harus
ditanyakan kepada Tuhan. Bagaimana bisa berkomunikasi dengan Tuhan, carilah
manusia yang paling dekat dengan Tuhan, paling Tuhan cintai, manusia yang
diberitahu ilmu langsung oleh Tuhan tentang manusia dan kehidupan, yaitu Rasul.
Maka, dari beliaulah kita belajar, ‘belajar dari’ Rasul tentang apa yang perlu
diketahui, perlu diingat, dan dilupakan
oleh manusia. Jadi ilmu pada akhirnya akan diterima oleh anak-anak sebagai hal
yang dibutuhkan, tak pernah terlupakan, dan bersifat holistik.
Sebenarnya arah dari kurikulum nasional yang
ada sekarang adalah holistik, tetapi pada fakta materinya terpisah-pisah.
Sekilas tampak terpadu, tapi sebenarnya sekuler atau terpisah, terpecah belah.
Contoh yang nyata adalah pelajaran Pendidikan Agama Islam. Ia terpisahkan
karena termasuk ilmu yang tidak konkret sehingga tidak termuat dalam buku paket
bahkan institusi pengelolanya terpisah menjadi dua kementerian. Contoh lain,
Matematika. Berkali-kali keluar masuk, terpadu dan terpisah dengan buku paket
utama anak-anak. Yang lebih parah, yang seharusnya diingat secara mendalam oleh
anak-anak yakni sejarah dihapus sebagai mata pelajaran. Kemudian dimasukkan sebagai
bumbu pelengkap dalam buku paket secara terpadu dengan materi lain yang dikenal
dengan tematik.
Kembali ke ilmu dan lembaga pendidikan primer,
yakni manusia itu sendiri, anak didik sendiri adalah hal yang harus jadi muatan
pokok pembelajaran. Belajar dari dalam diri dan dari luar diri secara utuh.
Contoh sederhana, manusia bisa melihat. Diberi kemampuan untuk melihat oleh
Tuhan. Ia diberi alat visual berupa optik mata. Detil tentang penglihatan dan
mata sudah mencakup beberapa ilmu di dalamnya yang penting bagi anak. Ada ilmu
kesehatan, optik, desain, sosial, agama, akhlak, dan sebagainya. Karena mata
penting bagi mereka, mereka akan ingat segala sesuatu tentang cara merawat
mata, kesehatan mata, adab mata dan hal lain yang berhubungan dengan
penglihatan dan mata.
Bahasan tentang pendidikan sebenarnya sangat
kompleks. Ada banyak hal yang perlu dibenahi agar amanah Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah: ‘mencerdaskan
kehidupan bangsa’. Perlu perbaikan kurikulum, konten pelajaran, lembaga yang
mengurusi pendidikan, wawasan guru, dan sebagainya.
Apakah ada guru dengan metodologi ilmu ‘belajar
dari’? Secara aplikatif, mereka ada. Mereka gerilyawan, sukarelawan. Mereka
disebut sebagai guru yang nakal, guru yang out
of the box. Guru yang selalu melanggar kewjiban administrasi. Guru yang
menjadi musuh pengawas dan kepala sekolah. Mereka ada walau sedikit, tapi setidaknya
telah menolong Indonesia memenuhi amanah UUD 1945: mencerdaskan kehidupan
bangsa.
*Menjadi guru adalah hutang yang
takkan pernah lunas.*
Post a Comment for "Mengapa Anak-Anak Mudah Lupa tentang Materi Pembelajaran?"