Contoh Loyalitas (Loyalty) Guru
Apa itu loyalitas?
Sebelum membahas
lebih jauh tentang loyalitas guru terhadap sekolah, ada baiknya kita menyamakan
persepsi mengenai pengertian loyalitas. Loyalitas ada yang mengartikan sebagai komitmen
dan dedikasi terhadap seseorang atau sesuatu. Wujudnya berupa rasa hormat dan
kepercayaan.
Ada pula definisi
lain bahwa yang dimaksud dengan loyalitas adalah hal-hal terbaik yang dilakukan
seorang karyawan untuk tempatnya bekerja atau mengabdikan dirinya. Loyalitas
juga ada yang menerjemahkan sebagai kesetiaan, pengabdian, dan kepatuhan
terhadap sesuatu atau seseorang. Yang dimaksud dengan loyalitas (loyalty) adalah
kualitas kesetiaan atau kepatuhan seseorang kepada orang atau sesuatu.
Jadi loyalitas
adalah bentuk sikap perilaku terbaik sebagai wujud dari kesetiaan, rasa
mengabdi, kepatuhan, dedikasi, rasa hormat, percaya, dan cinta seseorang
terhadap sesuatu atau seseorang.
Apa itu loyalitas guru?
Mengenai loyalitas
guru ini termaktub dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Yakni UU Nomor 14 tahun
2005. Dalam UU tersebut loyalitas itu bernama kompetensi dan profesional. Dari empat
kompetensi yakni pedagogik, keperibadian, profesional, dan sosial ada dua
kompetensi yang berwujud loyalty yakni keperibadian dan sosial. Bahkan ketika
baru diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara
(ASN), seorang guru (PNS/ASN) wajib melakukan sumpah jabatan.
Berbicara mengenai loyalitas guru kepada sekolah tempat ia
bekerja salah satunya ditunjukkan dengan cara menyekolahkan putera-puteri guru di sekolah tersebut. Begitu seorang
teman berbagi pemahaman.
Mari kita kaji walaupun subyektif tapi logis. Walaupun tidak
ada aturan tertulis, namun
itu sebuah konvensi tak tertulis. Ia berbentuk wujud kesetiaan dan kecintaannya
pada tempat ia bekerja dan membesarkan nama sekolah.
Mengapa guru harus loyal?
Mengapa menyekolahkan
putera-puteri guru di sekolah tempat guru tersebut bekerja menjadi salah satu
contoh bentuk loyal seorang guru? Anggap saja nama guru tersebut Pak Badrul. Ia
mempunyai dua anak usia sekolah dasar. Pak Badrul adalah guru sekolah dasar. Sebagai
bentuk loyalnya terhadap pimpinan, kinerja, dan lembaga satuan pendidikan
tempat ia bekerja, maka kedua anaknya disekolahkan di sekolah tersebut.
Sikap dan putusan
tersebut adalah bentuk loyalitasnya terhadap pimpinan dan sekolah tempat ia
bekerja. Bagaimana mungkin masyarakat pengguna layanan pendidikan
percaya dan pasrah terhadap lembaga pendidikan, jika putera dan atau puteri
seorang guru tidak bersekolah di tempat orang tua mereka mengabdikan diri?
Masyarakat yang mulutnya usil akan mengatakan: "Gurunya saja menyekolahkan
anaknya di luar, bagaimana kami percaya dengan sekolah tersebut?"
Nah, itulah. Walaupun
seorang guru memberikan penjelasan sedetil mungkin alasan tidak menyekolahkan anaknya di sekolah
tersebut, tak akan ada yang
menerimanya dengan penuh legawa. Apapun argumennya, tetap mentah di mata masyarakat.
Seorang
teman guru mengatakan bahwa menyekolahkan anak guru di sekolah tempatnya
bekerja adalah etik. Bentuk sikap
hormat dan cinta pada sekolah tempat ia mengabdi. Selain itu juga jembatan
menganggap anak lain (murid yang bukan anak kandung atau ponakannya) sebagai
anak sendiri.
Jika guru sudah pada taraf menganggap murid sebagaimana anak
sendiri, tentu ia akan dengan
hati bekerja dan berkarya untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak (murid). Bukankah begitu?
(Tentu esai ini ditujukan bagi guru yang
mempunyai anak dan usianya sesuai dengan jenjang pendidikan tempat guru
tersebut mengajar. Bukan guru yang lajang atau tidak punya keturunan).
Apapun kurikulumnya, apapun politik yang menunggangi
kurikulumnya, siapapun menterinya
(mau ganti tiap tahun pun), apapun proyek beraroma bisnis yang
mencermarinya, tetap saja ketika guru menganggap murid sebagai anak sendiri, ia
akan mengantar para murid
hingga gerbang kesuksesannya. Tentu orang tua akan kecewa jika anak mereka
tidak punya keahlian apapun, tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan buat
orang tua mereka. Cocok?
Lebih jauh, seorang teman guru menajamkan gagasannya bahwa
tolok ukur pertama dan mendasar adalah loyalitas guru terhadap sekolah dan pimpinannya
tempat ia mengabdi. Hal itu ada
dalam item penilaian kinerja seorang guru oleh kepala sekolah. Jika itu
tidak bisa ditunjukkan, maka
ia boleh diragukan kesetiaan dan kecintaannya terhadap lembaga pendidikan dan pemimpin lembaga tersebut.
Wah, menohok sekali.
Jika guru berargumen mengapa ia tidak menyekolahkan anaknya
di tempat ia bekerja dengan alasan ingin
mendapatkan kualitas pendidikan umum dan agama yang lebih baik untuk anaknya, maka sama saja dengan
mengatakan bahwa sekolah tempatnya bekerja buruk kualitasnya untuk anaknya? Logika sederhana bukan?
Atau beralasan tidak nyaman nanti kalau bertepatan
ditugaskan di kelas anaknya belajar, maka ia sebenarnya tak mampu bersikap
obyektif (profesional). Ia
masih membedakan anaknya dengan yang bukan anaknya. Ia telah bersikap rasis. Wah, makin jleb.
Apa dampak loyalty guru?
Berdasar logika
sederhana di atas,ada dampak nyata bagi sekolah tempat guru tersebut bekerja. Masyarakat
akan berani mengambil keputusan untuk menyekolahkan putera-puteri mereka di
sekolah tersebut. “Anak guru saja sekolah di situ, tentu sekolah itu sangat
dipercaya sebagai layanan publik bidang pendidikan. Anakku akan disekolahkan di
situ, ah!”
Secara tidak
langsung, selain meningkatkan trust, bentuk loyalty guru tersebut juga
sekaligus menjadi promosi bahkan testimoni bahwa sekolah tersebut berkualitas
baik. Bukankah demikian?
Anda seorang guru
dan mempunyai putera? Apakah putera dan atau puteri anda disekolahkan di tempat
anda bekerja? (kecuali ada alasan yang tidak bisa ditolak). Berbahagialah
karena menurut teman yang menyampaikan tentang loyalitas ini bahwa anda
termasuk orang yang menganggap murid sebagai anak, menghormati profesi, punya
dedikasi, berkualitas, terpercaya, berkomitmen, obyektif, profesional, guru
teladan, dan tentu tidak diragukan kesetiaan dan pengabdiannya kepada bangsa
dan negara.
Saya paham esai ini
berpotensi dikomentari, tapi ini hanyalah esai. Sifatnya subyektif.
Boleh saja disangkal boleh juga bersetuju. Bebas berpendapat berdasarkan
undang-undang. Itu baru dari satu
bentuk loyalty dari sekian banyak bentuk loyalty lainnya, tapi itu sangat
mendasar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa loyalitas guru berpengaruh
terhadap kualitas mengajar dan mendidik. Loyalitas guru berpengaruh terhadap
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan banyak lagi. Anda bisa cari
penyangkal atau penguat pendapat ini dengan menemukannya dari berbagai sumber
terpercaya.
"Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun
karsa, Tut Wuri Handayani." (Ki Hajar Dewantara). Di mata masyarakat memberikan contoh dan karya
terbaik. Membersamai masyarakat memberikan manfaat dan kualitas serta jadi
motivator. Kehadirannya menjadi berstatus wajib (bukan sunnah apalagi haram)
bagi masyarakat, ketidakhadirannya tetap memberikan inspirasi kebaikan. Menjadi
guru adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia dan semesta. Jadi, jangan
jadi guru, berat! Biar Dilan saja! Hahaha.
Selamat HariPendidikan Nasional, 2 Mei. Selamat Hari Guru Nasional, 25 November. Selamat
Hari Guru Sedunia (International Teacher Day), 5 Oktober. Selamat Hari
Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Selamat, selamat, selamat dan sejahtera.
Demikian, terima
kasih.
Post a Comment for "Contoh Loyalitas (Loyalty) Guru"